Senin, 01 November 2010

Penyusunan APBD 2009: Beberapa Hal Penting

Penyusunan APBD 2009: Beberapa Hal Penting
Agustus 24, 2008

Pemerintah telah menerbitkan pedoman penyusunan APBD tahun anggaran 2009 (Permendagri No.32/2008). Permendagri ini menjadi menarik dan penting karena memuat (=mengadopsi) beberapa perubahan atas Permendagri No.13/2006 yang dimuat dalam Permendagri No.59/2007. Sebenarnya, apa sih yang baru dari Permendagri 32/2008 ini? Apakah konsisten dengan Permendagri No.59/2007? Apa saja “kejanggalan” yang tersirat di dalamnya, yang menyembunyikan fakta “penjajahan” Pemerintah Pusat terhadap Pemerintahan Daerah?
Pendahuluan

Terbitnya Permendagri No.32/2008 didasarkan pada pasal 34(2) PP No.58/2005 yang menyatakan bahwa penyusunan rancangan kebijakan umum APBD berpedoman pada pedoman penyusunan APBD yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setiap tahun. Hal ini pula yang mendasari mengapa pedoman penyusunan APBD sejak tahun anggaran 2007 menggunakan Permendagri, bukan lagi surat edaran (SE) Mendagri. Namun, yang sedikit mengganggu adalah ketika sebuah Permendagri kemudian mengakomodasi apa yang diatur oleh Permendagri lainnya. Hal ini seolah-olah menunjukkan bahwa Permendagri adalah Petunjuk Pelaksanaan dari Permendagri yang lain. Atau, Permendagri penyusunan APBD merupakan operasionalisasi dari Permendagri tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah.
Lingkup APBD 2009

Secara umum, penyusunan APBD 2009 tidak boleh terlepas dari aturan main yang ada di atas Permendagri, yakni PP. Salah satu alasan mengapa Pemerintah merevisi Permendagri 13/2006 adalah karena terjadinya perubahan PP terkait dengan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan Pemda dan struktur organisasi di daerah. Terbitnya PP No.38/2007 dan PP No.41/2007 berimplikasi langsung terhadap kebijakan keuangan di daerah. Ada 4 (empat) isu pokok yang harus diperhatikan oleh Pemerintah Daerah dalam proses penyusunan APBD 2009, yakni:

1. Perencanaan Sesuai Batas Kewenangan (sebagaimana diatur PP No.38/2007 yang merupakan penyempurnaan atas PP No.25/2000), yakni:

* Seluruh program dan kegiatan yang tercantum di dalam KUA merupakan turunan kewenangan KDH;
* Seluruh SKPD mengenali dan mengurai batas kewenangan KDH dalam tugas pokok dan fungsi masing-masing SKPD;
* Pembiayaan atas program yang masuk dalam lingkup kewenangan Pusat dan Propinsi dilakukan melalui koordinasi dengan Pusat dan Propinsi dalam rangka mencegah terjadinya duplikasi program/kegiatan.

2. Pelaksanaan oleh SKPD sesuai dengan Tupoksinya (sebagaimana diatur PP No.41/2007 yang merupakan penyempurnaan atas PP No.8/2003), yakni:

* Setiap SKPD mulai merumuskan tugas pokok dan fungsinya secara terukur dalam rangka mencegah tumpang-tindih program antar SKPD;
* Jika belum memiliki SOTK baru, Pemda dan DPRD menyiapkan kegiatan diskusi interaktif tentang format dan struktur SOTK yang ideal, yang akan dituntaskan dalam APBD 2009.

3. Pelaporan kinerja yang terukur sesuai dengan PP No.8/2006 dan PP No.3/2007. Terkait aturan ini, beberapa hal yang wajib diperhatikan adalah:

* Setiap usulan rencana program harus diawali dengan pernyataan masalah, diikuti dengan rumusan kebijakan, program dan kegiatan serta target kinerja yang terukur;
* Usulan rencana program mencantumkan kelompok sasaran dan lokasi;
* Untuk memudahkan DPRD dalam mengukur kinerja dalam LKPJ-KDH, maka format perencanaan, pelaksanaan danpelaporan dilakukan dengan menggunakan matriks yang sama dan berurutan.

4. Nama program dan kegiatan sesuai dengan yang tercantum dalam Lampran A.VII Permendagri 13/2006. Untuk memudahkan daerah dalam menentukan nama atau judul program/kegiatan, Pemerintah telah “menyediakan” sesuai dengan urusan dan kewenangan. Daerah tinggal memilih. Namun, pada kenyataannya ada beberapa program/kegiatan yang dibutuhkan oleh Daerah tapi tidak ada dalam lampiran tsb. Hal ini menimbulkan keraguan di Daerah: apakah boleh menambah nama dan kode rekening untuk program dan kegiatan baru?

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa penyusunan RKA-SKPD dan rancangan Perda APBD tidak boleh melanggar batas kewenangan daerah (PP No.38/2007) dan Tupoksi SKPD (PP No.41/2007 yang diatur lebih jauh dalam Perda tentang SOTK di masing-masing daerah). Pelanggaran atas batas kewenangan dapat menyebabkan terjadinya subsidi sungsang, yakni subsidi dari Pemda ke pemerintahan di atasnya, seperti dari kabupaten/kota ke provinsi (ketika kabupaten/kota melaksanakan program/kegiatan yang merupakan urusan provinsi) atau dari kabupaten/kota ke Pemerintah Pusat (ketika kabupaten/kota melaksanakan program/kegiatan yang merupakan urusan Pemerintah Pusat).
Isi Permendagri No.32/2008 tentang Pedoman Penyusunan APBD TA 2009

Pedoman penyusunan APBD TA 2009 meliputi:

* sinkronisasi kebijakan Pemerintah dengan Pemerintah Daerah;
* pokok-pokok kebijakan penyusunan APBD;
* teknis penyusunan APBD; dan
* hal-hal khusus lainnya.

1. Sinkronisasi kebijakan Pemerintah dengan Pemerintah Daerah. Sinkronisasi dibutuhkan agar tidak terjadi perbedaan arah dan tujuan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan antara Pemerintah dan Pemda. Pada intinya, persoalan mendasar yang dihadapi Pempus nyaris sama dengan Pemda, yakni rendahnya kualitas pendidikan dan kesehatan, pengangguran, kemiskinan, infrastruktur perdesaan, ketersedian dan stabilitas harga bahan pangan, kelembagaan, kualitasn dan kuantitas PNS, ketatalaksanaan dan pengawasan, dan stabilitas politik dan keamanan terkait pelaksanaan Pemilu dan Pilpres di tahun 2009.

Prioritas Pembangunan Nasional wajib didukung oleh Pemda. Sinkronisasi perencanaan dan penganggaran antara pemerintah dengan pemerintah daerah dapat dilakukan melalui integrasi program dan kegiatan pembangunan yang disesuaikan dengan dinamika kebutuhan dan karakteristik di masing-masing daerah, sehingga implementasi pembangunan nasional dan daerah dapat berjalan secara optimal, terpadu dan berkesinambungan. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus semakin mengefektifkan pemanfaatan sumber-sumber penerimaan daerah dan lebih mengutamakan program-program terkait pemberdayaan masyarakat, pertumbuhan ekonomi daerah dan pembangunan infrastruktur dasar.

Optimalisasi penetapan program, kegiatan dan pendanaan pembangunan melalui penyelarasan sasaran program dan kegiatan dekonsentrasi, tugas pembantuan dan desentralisasi sehingga diharapkan bobot alokasi APBD betul-betul dapat difokuskan untuk urusan yang menjadi kewenangannya dan membatasi penggunaan APBD untuk mendanai program dan kegiatan di luar kewenangannya. Semestinya alokasi anggaran dekonsentrasi dan tugas pembantuan serta DAK betul-betul mencerminkan prioritas pembangunan nasional yang sangat dibutuhkan daerah. So, perlu dibangun komunikasi dan koordinasi intensif oleh pemerintah daerah secara proaktif.

2. Pokok-pokok Kebijakan Penyusunan APBD. Pada dasarnya kebijakan APBD mencakup tiga komponen APBD, yakni kebijakan pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Ketiga komponen ini sesungguhnya tidak terpisah, tapi terintegrasi satu sama lain. Barangkali yang harus didiskusikan lebih jauh adalah: apakah pendapatan yang mempengaruhi belanja atau sebaliknya?

* Kebijakan Pendapatan Daerah. Misalnya, kebijakan untuk meningkatkan target PAD didasari alasan untuk apa dana tersebut akan digunakan. Semestinya PAD tidak boleh digunakan untuk membayar penghasilan dan tunjangan serta perjalanan dinas dan belanja lain yang berhubungan dengan para anggota DPRD, karena kebutuhan tersebut sudah dialokasikan dari DAU.
* Kebijakan Belanja Daerah. Belanja daerah dimaksudkan untuk melaksanakan Tupoksi masing -masing SKPD sesuai dengan target yang ditentukan. Belanja daerah nantinya akan dicairkan sesuai dengan anggaran kas SKPD, yang telah diakomodasi dalam anggaran kas pemerintah daerah. Dengan demikian, prioritas belanja tidak hanya pada besaran angka, tetapi juga pada jaminan bahwa pelaksanaan anggaran belanja tsb tepat pada waktunya.
* Kebijakan Pembiayaan Daerah. Pembiayaan merupakan komponen APBD yang secara tidak langsung adalah “turunan” dari Pendapatan dan Belanja karena (1) adanya surplus defisit, sehingga arus kas masuk dan keluar tidak sama; (2) adanya anggaran tahun lalu yang tidak terealisasi seluruhnya, sehingga harus “diluncurkan” ke tahun berikutnya; (3) adanya kebijakan APBD tahun lalu yang harus direalisasikan pada tahun berikutnya, seperti adanya pinjaman/piutang yang akan ditagih pada tahun mendatang; dan (3) adanya kebijakan untuk membayarkan atau menerima dana dari sumber luar, seperti investasi dan pinjaman yang dimaksudkan untuk pendanaan atas program/kegiatan APBD yang memang lebih ekonomis dan efisien dengan menggunakan dana dari pihak eksternal.

3. Teknis Penyusunan APBD. Secara umum, proses penyusunan APBD tidak mengalami perubahan, kecuali beberapa hal berikut:

* Perubahan format KUA/PPAS. Sesuai Permendagri No.59/2007, format KUA tidak lagi memuat angka rupiah (plafon anggaran). Hal ini berbeda dengan permendagri No.13/2006, yang hampir tidak ada bedanya dengan PPAS.
* Pembahasan KUA/PPAS dilakukan bersamaan. Mungkin maksudnya agar pembahasan dan penetapan APBD menjadi Perda tidak memakan waktu lama. Namun, hal ini menyebabkan DPRD tidak memiliki waktu cukup untuk mencermati isu-isu penting dalam kebijakan tsb.
* Munculnya RKA-PPKD. Selama ini Pemda mengalami kesulitan ketika menyusun RKA untuk belanja tidak langsung di SKPKD karena dalam Permendagri No.13 tidak dilampirkan format RKA untuk belanja tidak langsung selain belanja pegawai. Yang unik, nama dokumennya adalah RKA-PPKD, bukan RKA-SKPKD. Perlu dicatat bahwa PPKD adalah sebutan untuk kepala SKPKD, paralel dengan kepala SKPD. Artinya, kalau untuk SKPD disebut RKA-SKPD, mengapa untuk SKPKD tidak disebut RKA-SKPKD? Saya sendiri tidak tahu apa alasan Depdagri menamai seperi ini.
* Redefinisi belanja tidak langsung. Belanja tidak langsung seperti Hibah dan Bantuan Sosial dilonggarkan persyaratannya. Definisi yang dinyatakan dalam Permendagri 13, dalam Permendagri 59 dihilangkan, namun muncul lagi dalam Permendagri 32. Hibah untuk klub sepakbola tidak diatur secara tegas, tatapi “boleh melalui” KONI di daerah bersangkutan.
* Adanya rekening baru dan Pemda boleh menambah rekening baru. Ada beberapa rekening baru yang ditambahkan dalam Permendagri 59, yakni belanja pemeliharaan, jasa konsultansi, dan lain-lain pengadaan barang dan jasa. Memang lucu ketika di Permendagri 13 tidak ada nama dan kode rekening untuk pemeliharaan (gedung, peralatan, dll.), sehingga banyak gedung sekolah yang rusak parah karena tidak dirawat gara-gara tidak ada mata anggarannya dalam APBD.

4. Hal-hal khusus lainnya. Pada bagian ini dijabarkan beberapa hal yang perlu dicermati oleh Pemda. Beberapa hal penting dan sangat menarik adalah:

* Tambahan penghasilan berupa uang makan. Pada item no. 8 Permendagri 59, yaitu tentang tambahan ayat untuk pasal 39 Permendagri 13 (pasal 39 ayat 7a), dinyatakan bahwa tambahan penghasilan berdasarkan pertimbangan objektif lainnya … dalam rangka peningkatan kesejahteraan umum pegawai, seperti pemberan uang makan. Namun, dalam Permendagri 32/2008 tentang Belanja Tidak Langsung berupa Belanja Pegawai poin e dinyatakan: Apabila Daerah telah menganggarkan tambahan penghasilan dalam bentuk uang makan, tidak diperkenankan menganggarkan. Artinya, ada perbedaan antara Permendagri 59 dan Permendagri 32. Mana yang harus diikuti Pemda?
* Anggaran untuk peningkatan SDM. Pada poin g dan h Permendagri 32 dinyatakan bahwa: (1) Penganggaran untuk penyelenggaraan rapat-rapat yang dilaksanakan di luar kantor, workshop, seminar dan lokakarya agar dikurangi frekuensinya dan (2) Penganggaran untuk menghadiri pelatihan terkait dengan peningkatan SDM hanya diperkenankan untuk pelatihan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah atau lembaga non pemerintah yang bekerjasama dan/atau direkomendasikan oleh departemen terkait. Sepertinya hal ini memasung daerah untuk mengikuti pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Selain itu, akan membuka ruang bagi terjadinya kolusi antara departemen terkait dengan event organizer (panitia pelatihan) karena dalam konteks ini perguruan tinggi kemungkinan bukan yang dimaksud sebagai lembaga/instansi pemerintah (karena tidak boleh merekomendasikan).

Pada prinsipnya, Permendagri No.32/2008 hanyalah mengatur (secara khusus) mekanisme penyusunan APBD 2009. Beberapa hal kemungkinan berbeda dengan ragulasi lokal (Perda dan Peraturan Kepala Daerah). Oleh karena itu, beberapa “penyesuaian ke atas” harus dilakukan oleh Daerah, yakni mencocokkan dengan PP dan UU terkait keuangan negara/daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar